loading...
Para ekonom mengaitkan melemahnya rupee dengan kenaikan harga minyak, kekhawatiran yang terjadi di emerging market yang lebih luas dan menguatnya permintaan dolar AS.
"Melemahnya rupee semakin meningkatkan kekhawatiran investasi di pasar negara berkembang. Melemahnya rupee juga karena defisit transaksi berjalan yang melebar terutama disebabkan kenaikan harga minyak," ulas Chief Investment Officer Deutsche Bank Asia Pasifik, Tuan Huynh.
Harga minyak yang kian mahal membuat tagihan impor India membengkak. Pasalnya Negeri Anak Benua tersebut merupakan importir minyak. Tingginya harga minyak menyebabkan defisit transaksi berjalan semakin melebar.
Ekonom DBS Radhika Rao menjelaskan, harga minyak yang telah naik lebih dari 7% sejak medio Agustus ini, telah memukul rupee India. Seiring dengan itu, permintaan dolar AS di akhir bulan juga ditambahkan ke laju sell-off mata uang. "Pasar mendapat kesan bahwa pihak berwenang (pemerintah) seperti 'toleran' terhadap rupee yang lebih lemah," tambah Rao.
Selain itu, krisis mata uang lira Turki juga memberi tekanan pada rupee India. Untuk saat ini, Rao menjelaskan, India dapat memilih untuk bertahan atau jika terjadi kelemahan lebih lanjut, memerlukan intervensi bank sentral.
"Dengan The Fed yang diperkirakan secara bertahap menaikkan suku bunga di sisa 2018 dan di tahun 2019, kekhawatiran perang dagang akan meningkatkan permintaan dolar sebagai safe haven, akan membuat volatilitas bagi rupee," katanya.
Laporan Wealth Management Deutsche Bank memprediksi rupee India akan terdepresiasi lebih dalam menjadi 74 terhadap dolar AS pada Juni 2019. "Selain dari defisit transaksi berjalan yang lebih tinggi, kekuatan USD (dan hasil treasury AS yang lebih tinggi), kemungkinan pelebaran dalam defisit fiskal pemerintah di tahun jelang pemilihan dapat terus membebani mata uang," katanya.
(ven)
No comments:
Post a Comment